-Ketika manusia belum disambut oleh dunia, ia akan dihadapkan dengan dua pilihan takdir. Takdir baik atau buruk, dimana kita tak bisa leluasa memilihnya.-
________________
Matahari mulai menampakkan batang hidungnya. Sinarnya yang kekuningan merambat masuk ke dalam ruang melewati jendela kaca ukuran sedang. Wanita paruh baya menyibakkan selimut di hadapannya, membangunkan gadis kecil yang sedang meringkuk nyaman di atas kasur kapuknya.
"Bangun, Nak. Sudah jam enam waktunya sekolah," ucap wanita tersebut sembari mengguncang pelan badan anaknya.
Gadis mungil yang masih berumur lima tahun itu hanya duduk dengan mata masih tertutup. Ia hanya bergumam malas.
"Tunggu, di telingamu kok ada cairan?" tanya sang ibu, Sarah, lalu segera mengecek telinga Aya bagian kiri. "Hari ini kita ke dokter Rumah Sakit Raya Indah aja, izin sekolah."
Aya yang mendengar perkataan ibunya hanya termenung. Mendengar kata 'dokter' saja sudah menakutkan apalagi bertemu dengan sosoknya. Ia kemudian beralih melihat wajah panik ibunya yang jelas-jelas berusaha ditutupi.
Aya pun tidak tahu jika ia baru saja mengangguk, dan di sinilah ia berada. Berada di koridor bercat putih, banyak orang berlalu kesana kemari, bau obat-obatan pun langsung menyeruak ke dalam hidung Aya.
Baunya tidak enak. batin Aya.
"Selamat siang, Bu. Ada keluhan apa?" tanya dokter berjas putih setelah Aya dan Sarah duduk di hadapannya.
Sarah pun menjelaskan jika telinga Aya keluar cairan, dokter menyimak dengan seksama. Sarah berkata dengan hati-hati, "Kenapa bisa begitu, Dok?"
"Sebentar, Bu. Saya periksa dan obati dulu," balas dokter laki-laki tersebut.
Dengan lihai dokter mengeluarkan alat-alat yang akan diperlukan untuk pengobatan dengan dibantu perawat cantik di sampingnya.
Pertama, dokter berkumis itu memasukkan alat bernama otoskop untuk melihat keadaan di dalam telinga Aya, lalu setelah menimbang-nimbang dokter itu menyemprot telinga Aya yang bermasalah.
Kemudian saat benda besi yang ujungnya dibalut kapas mengorek telinga Aya, barulah Aya menangis dan kakinya menendang kesana kemari. Perawat lainnya datang untuk membantu mengunci pergerakan Aya, Aya tetap bersikeras. Namun, apalah daya tubuh kecil lawan dengan orang besar.
"Telinga anak ibu kemungkinan infeksi, anak ibu juga menderita amandel ...." Penjelasan panjang lebar dokter tersebut diterima oleh telinga Aya dengan baik-baik, ia hanya memandang dokter dan perawat penuh amarah sambil sesenggukan. Ia benci dengan dokter dan hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit.
Hari sekolah TK pun berjalan seperti biasanya, namun Aya terkadang izin tidak masuk sekolah untuk memeriksakan telinganya.
Dua tahun kemudian, Aya menginjak umur tujuh tahun dan duduk di kelas dua SD. Tidak pernah terpikirkan jika penyakitnya lambat laun bertambah semakin parah.
Telinga yang mulanya dirasa cukup baik-baik saja, kini membengkak di belakang telinganya. Amandel yang semula kecil, kini kian membesar sampai hampir menyatu.
Telinga Aya juga sering keluar nanah sampai-sampai ia malu dengan teman sekelasnya karena bau nanah tersebut sangatlah tidak enak. Teman sebangkunya juga pernah bilang, "maaf, bau telingamu tidak enak."
Setiap datang ke sekolah, Aya langsung duduk di kursinya menunggu pelajaran dimulai sedangkan teman-teman lainnya asyik bersendau gurau. Aya bukan merasa tidak suka diasingkan begini, tapi siapa juga yang mau dekat-dekat dengan anak yang bau? Aya cukup tahu diri.
Aya pun hanya terduduk diam, tak peduli lagi temannya berkata atau memandangnya bagaimana. Ia terlalu malu dan merasa bersalah. Ia merasa sudah mengganggu indera penciuman orang-orang di sekitarnya.
Tak menemukan solusi lain, orang tua Aya membawa gadis kecilnya ke pengobatan alternatif. Kyai yang menangani Aya berkata, "Minyak ini dioleskan saja ke telinga yang bengkak, nanti malam meletus, BOOM!"
Dan sesuai prediksi dari sang kyai, saat malam hari bengkak di belakang telinga Aya meletus membuat nanah berceceran.
Namun esoknya, hal sama terulang kembali. Telinga Aya bengkak lagi, pecah lagi, dan bengkak lagi. Tidak ada pilihan lain selain membawanya ke rumah sakit besar lain selain Rumah Sakit Raya Indah.
Sudah beberapa minggu Sarah membawa Aya berobat di Rumah Sakit Bung Tomo. Saat pertama kali datang dan menjelaskan penyakit Aya, dokter THT di Rumah Sakit Bung Tomo berkata jika penanganan di Rumah Sakit Raya Indah keliru. "Bu, seharusnya telinga yang sakit tidak boleh disemprot dengan air. Dan saya pikir, amandel yang diderita oleh Aya juga kemungkinan penyebab telinga Aya infeksi."
Hal itu membuat keluarga Aya, terutama Aya sendiri, marah pada penanganan yang diterima dari dokter THT Rumah Sakit Raya Indah. Gara-gara THT Rumah Sakit Raya Indah, Aya benar-benar trauma dan tidak mau ditangani rumah sakit lain selain Rumah Sakit Bung Tomo saja.
"Kalau telinga Aya yang bengkak tidak segera dioperasi, akan menyalur ke otak, Bu."
Ibu menjawab jika saat ini ia tidak membawa uang lebih dan uangnya setidaknya cukup untuk biaya pulang dari rumah sakit. Aya hanya termenung di kursi tunggu THT, pikirannya melayang membayangkan apa yang akan dilakukan dokternya nanti. Sudah jam dua belas lewat lima belas menit, rumah sakit sudah lumayan sepi. Para dokter pun berleha-leha, ada juga dokter yang masih mengobati pasien.
Beberapa jam kemudian, dokter menyuruh Aya dan ibunya ke ruang anestesi bius. Di sana Aya ditimbang berat badan, tinggi badan, darah, dan diperiksa telinganya. Mereka pun kembali ke ruang tunggu THT tadi. Tiba-tiba dokter membawa kabar jika beliau telah menerima telepon dari anestesi bius bahwa Aya harus dioperasi sekarang. Harus sekarang.
"Harus sekarang, Dok?" ucap Sarah dengan lemas.
"Iya, Ibu. Karena dari anestesi bius bilang bahwa tidak ada kamar operasi yang kosong, sedangkan nanah di telinga Aya harus segera dikeluarkan. Jadi, kita hanya bisa melakukan bios lokal kepada Aya. Apabila tidak segera dikeluarkan bisa-bisa menyalur ke otak, Bu." jelas dokter dengan panjang lebar.
Aya memerhatikan ibunya dan dokter yang sedang berdiskusi, Aya memilih untuk duduk. Ia lelah dengan semua ini, entah apa yang akan dilakukan dokernya setelah ini.
Tubuh kurus Aya seketika dingin, Aya merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia dibopong ke ruangan putih dengan tirai putih, semua serba putih. Lalu ditidurkannya ia dengan keadaan telungkup di atas kasur oleh perawat laki-laki. Pandangannya mengintip ke samping kiri, banyak alat-alat besi, ada suntikan besar, kapas, ada beberapa dokter/perawat laki-laki yang sudah memegang tubuh Aya, dan ada dokter gemuk juga yang memakai masker, bersiap dengan alat perangnya. Di sampingnya ada seorang suster yang memakai masker pula.
Kenapa alat suntik itu besar sekali? batin Aya.
Dokter gemuk itu mengambil suntik yang sangat besar dan meyuntikkan sesuatu ke telinga Aya yang bengkak, perih dan dingin terasa. Awalnya Aya hanya meringis, lama kelamaan ia tak tahan menahan sakit dan teriak pilu. Ia masih merasakan saat pisau itu menggores kulit telinga Aya. Perih, cenat-cenut luar biasa.
Sarah yang berada di luar ruangan tak kuasa menahan tangis mendengar teriak anaknya itu.
"Sudah, Bu. Jangan nangis. Nanti dokternya ikut nangis, Bu," ucap ibu administrasi di hadapannya yang berusaha menghibur Sarah. Namun, Sarah hanya mengangguk pelan dan menutupi wajah basahnya dengan jilbab yang dikenakan.
Tak lama kemudian, Aya keluar dengan perban besar di telinganya ditemani dokter yang memeriksanya. Matanya sayu sembab sehabis menangis. Dokter pun memberikan resep obat kepada Sarah agar obat tersebut rutin diminum Aya.
Sepulang dari rumah sakit, seperti biasa Sarah menceritakan kepada keluarga. Keluarga Aya pun tentu menangis tak tega melihat perban menutupi belakang telinga kiri Aya. Beberapa kali juga Aya pernah mendapati ibunya menangis usai ibadah, ayahnya yang berdoa khusyu'.
Akhir-akhir ini juga Aya sering termenung, bermain-main dengan pikiran.
"Bagaimana, ya, rasanya di operasi?"
"Aku takut sekali, aku nggak mau bikin ayah dan ibu nangis."
"Apakah aku harus mati saja biar ayah dan ibu nggak nangis lagi?"
Beberapa bulan kemudian, dokter mengabarkan jika Aya harus operasi telinga total agar telinganya tidak bengkak lagi. Kabar tersebut sampai ke telinga keluarga Aya, mereka memikirkan nasib Aya dan memikirkan darimana uang untuk membayar operasi Aya.
Lagi-lagi mata Sarah mengalir buliran basah saat berdoa, melihat hal tersebut dari kesekian kalinya Aya bertanya, "Bu, bagaimana jika Aya meninggal?" Pertanyaan polos nan datar Aya sukses membuat hati Sarah tercabik-cabik.
"Tidak akan terjadi, Nak. Baca sholawat terus, Nak," ucap Sarah dengan nada bergetar.
Tibalah hari di mana Aya akan dioperasi, mereka berada di ruang operasi. Tubuh Aya yang kurus berbalut kain putih didudukkan di kursi roda. Orang tua Aya memandang Aya sedikit pilu, Sarah menangis tersedu-sedu tak tega, sedangkan ayah Aya menenangkan Sarah dan sesekali menyeka air matanya.
Umumnya anak kecil pasti akan menangis jika ia merasa takut atau memikirkan hal-hal buruk. Namun tidak dengan Aya, ia memandang dokter yang berlalu lalang di ruang operasi. Ia tidak tega untuk memandang kedua orang tuanya. Aya tidak takut? Tentu saja takut.
Sampai perawat datang dan menyuntikkan sesuatu di bius Aya, Aya pun tertidur lelap. Bangun-bangun Aya sudah tertidur miring lemas dengan selimut yang membalutnya. Ia bingung, Apa aku sudah di operasi? Secepat ini?, tanyanya dalam hati.
Saat itu hujan turun, Aya pun segera dipindahkan ke kamar pasien dari kamar operasi. Sore hari, banyak keluarga dari Ayah Aya yang datang menjenguk, juga tetangga Aya.
Satu tahun kemudian, operasi kedua dijalani. Aya menjalani operasi amandel dan hidung. Seperti biasa, Aya dan Ibunya menunggu di ruang operasi. Lalu perawat datang memberi suntikan di biusnya.
"Nak, baca sholawat, ya," ucap Sarah dengan nada bergetar. Dia pun membacakan sholawat diikuti oleh Aya di dalam hati. Ia membaca terus-menerus sampai dokter datang. Kala itu Aya sudah mulai kehilangan pandangannya.
Terakhir kali ia mendengar dokternya berkata, "Ucapkan assalamu'alaikum pada ibumu, Nak."
Namun Aya sudah terlelap, beristirahat untuk sejenak. Berharap jika semua hanyalah mimpi buruk belaka. Berharap jika operasinya berjalan lancar dan penyakitnya segera diangkat oleh Tuhan.
Tujuh tahun kemudian, Aya menduduki kelas satu SMA. Amandelnya sembuh total, kecuali telinganya. Telinganya memang kumat-kumatan dengan keluarnya cairan bening. Dokternya pernah bilang jika Aya tidak boleh renang seumur hidup, check up pun juga seumur hidup.
Suatu hari kontrol ke Rumah Sakit Bung Tomo dengan diantar oleh kakaknya, dokternya bilang jika Aya akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut penyakitnya. Bisa saja jika Aya dioperasi Iagi.
Di samping Aya, ada pasien yang berumur sekitar dua puluh tahunan yang katanya sudah operasi empat kali. Kasus penyakitnya katanya sama seperti Aya. Kakaknya yang waktu itu mendengar penjelasan dokter, berkata kepada Aya, "Udah. Nggak usah balik lagi, kakak takut dengernya."
Aya hanya mengiyakan saja dan merasa jika kakaknya terlalu berlebihan. Namun karena takut terjadi apa-apa, ia pada akhirnya kontrol. Meskipun mendengar hasil yang tak mengenakkan dari dokternya.
"Aya, kamu tuh harus rajin kontrol."
"Besok tes pendengaran, ya. Saya jadwalkan."
"Nah, ini mulai kering. Pakai terus obatnya, nanti kalau habis saya kasih resepnya lagi."
"Biasanya setelah operasi itu dinding telinga kembali normal dan warnanya akan putih seperti kristal. Tapi ini, kok, merah dan masih keluar nanah?"
"Itu kotorannya warna putih kaya kertas, kalau numpuk bisa dioperasi lagi, loh. Rajin kontrol, ya. Minggu depan bisa?"
Begitulah selebihnya ucapan dari dokter yang menangani Aya.
-The End-
0 Comments